SEJARAH AGAMA HINDU
Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang
merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini
akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat
tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah
melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu
pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu
mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa
sulit untuk dipahami.
Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu
lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul
bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai
sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan
agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi
penyebarannya belum banyak dimengerti.
Penampilan agama Hindu yang
memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya
mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak
sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.Sebagai Contoh:
"Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang
polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak
mengenakkan, serta merugikan agama Hindu".Disamping itu di kalangan umat
Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat
atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan
penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang
menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya
terhadap agama Hindu.
AGAMA HINDU DI INDIA
Perkembangan agama
Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman
Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan
benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa
orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai
peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah
patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat
hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal
adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa.
Jaman Weda dimulai pada
waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500
s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida
kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah
memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni,
Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak,
namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha
Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur
tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat
dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Pada Jaman
Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan,
kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa
pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata
Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang
menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara
Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam
ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang
dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan
tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang
dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman
pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang
berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat
yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana,
Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri
Murti menjadi umum.
Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika
putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari
sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan
untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.Agama Hindu, dari India Selatan
menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah
penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.
MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA
Berdasarkan
beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya
berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para
Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab
Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke
seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok,
Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat
tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
Krom (ahli - Belanda),
dengan teori Waisya. Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche
Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia
adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh
golongan pedagang (Waisya) India. Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa
oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di
Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota
sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka
sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat
lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Moens dan
Bosch (ahli - Belanda) Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat
besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke
Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para
para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
DATA PENINGGALAN SEJARAH DI INDONESIA.
Data
peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari
India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa
dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan
agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna,
India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi
Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam
prasasti-prasasti seperti:
PRASASTI DINOYO (JAWA TIMUR): Prasasti ini
bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat
pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari
Beliau. Prasasti Porong (Jawa Tengah) Prasasti yang bertahun Caka 785,
juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat
kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau,
diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya
yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita
Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas
demi untuk Dharma.
AGAMA HINDU DI INDONESIA
Masuknya agama Hindu
ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan
adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi
denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di
Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan
mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa
itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh
Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman
melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat
itu disebut dengan "Vaprakeswara".
Masuknya agama Hindu ke Indonesia,
menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman
prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan
beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga
munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di
Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat
mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni
prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan
Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf
Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang
menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama
Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya
disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"
Bukti lain yang ditemukan di
Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut
Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara.
Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah
penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari
Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa
Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu.
Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe
lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan
atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga
Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan
lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta
dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja
Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala
berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap
Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya
kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat
Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan
Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti
pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu,
agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan
ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa
sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang
pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun
760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar,
para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari
kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di
daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian
pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan
bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan
dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok
adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah
kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang
setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan
Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa
kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab
Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab
Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada
jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan
candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman
kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari
dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh
Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan
perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya
candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur
disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama
Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali
diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan
adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara
Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng
Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar
di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu
Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan
Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte
yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui
Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan
sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan
adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai
penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang.
Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya,
sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19
masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan
pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman
keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada
abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur.
Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi,
Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan
selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan
kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921
usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja.
Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di
SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di
Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis
Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di
Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama
Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu
berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud
yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan
pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964),
diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan
bernama Parisada Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama
Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma
Indonesia.
Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun
oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka NetraPerkembangan selanjutnya, setelah
runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat
mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul
dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923
di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur
Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para
Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di
Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal
23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal
17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma
Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan
yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada
tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan
menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan
menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang
selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra
Agama
Hindu ditandai dengan sifat rasional yang sangat kuat. Melalui jalan
berliku dari harapan samar dan renunsiasi praktis, dogma-dogma ketat dan
petualangan jiwa yang tidak mengenal takut, melalui empat atau lima
melinium upaya-upaya tanpa henti dalam bidang menthapisik dan teologi
para Maharesi Hindu telah mencoba untuk menangkap masalah-masalah
terakhir dalam suatu kesetiaan kepada kebenaran dan perasaan atas
kenyataan.
Reg Weda memberitahu kita mengenai Tuhan, Satu Hakekat
Kenyataan Terakhir, Ekam Sat, mengenai Dia para terpelajar menyebutnya
dengan berbagai nama.
Upanisad-Upanisad juga mengatakan bahwa Tuhan
yang satu itu disebut dengan berbagai nama sesuai dengan tingkat
kenyataan dimana Dia dilihat berfungsi.
Konsepsi mengenai Tri Murti muncul dari periode epik, dan dimantapkan dalam zaman Purana-Purana.
Analogi
dari kesadaran manusia, dengan tiga lapis kegiatan, yaitu mengetahui
(cognition), merasa (emotion), dan kehendak (will), menyarankan
pandangan mengenai Tuhan sebagai Sat, Cit dan Ananta Kenyataan
(reality), kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagian (joy).
Triguna yaitu :
* Sattwa atau ketenangan, lahir dan kebijaksanaan,
* Rajas atau energi lahir dari rasa yang penuh semangat, dan
* Tamas, kelambanan, lahir sebagai akibatnya kurangnya kendali dan
pencerahan, adalah merupakan unsur-unsur dari semua eksistensi.
Tiga
fungsi dari utpeti (shristi) atau penciptaan stiti atau pemeliharaan
dan pamralaya (pralina) atau penghancuran (peleburan) juga berasal dari
Tri Guna ini.
* Wisnu Sang Pemelihara alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat sattwa,
* Brahman Sang Pencipta alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat rajas dan
* Siwa Sang Pemrelina alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat tamas.
Tiga
Sifat dari Tuhan Yang Tunggal dikembangkan menjadi tiga pribadi yang
berbeda. Dan masing-masing pribadi itu dianggap berfungsi melalui sakti
atau energinya masing-masing: Uma, Saraswati dan Laksmi.
Secara
harfiah ketiga sifa-sifat dan fungsi-fungsi ini seimbang di dalam Tuhan
Yang Tunggal sehingga Dia dikatakan tidak memiliki sifat-sifat sama
sekali.
Satu Tuhan yang tidak dapat dipahami yang Maha
Mengetahui, Maha Kuasa dan ada di mana-mana, tempat berbeda bagi pikiran
yang berbeda dalam cara yang berbeda.
Satu teks kuno mengatakan bahwa bentuk diberikan kepada yang tak berbentuk bagi kepentingan manusia.
Dengan
keterbukaan pikiran yang merupakan sifat dan filsafat, orang Hindu
percaya akan relativitas dari keyakinan mayarakat umum yang memeluk
keyakinan itu.
Agama bukanlah sekedar teori mengenai yang supernatural yang dapat kita pakai atau kita tinggalkan semau kita.
Agama
merupakan pernyataan dari pengalaman spiritual dari bangsa yang
bersangkutan, catatan dari evolusi sosialnya, bagian tak terpisahkan
dari suatu mayarakat di atas di mana ia didirikan.
Bahwa orang yang berbeda akan memeluk keyakinan yang berbeda, bukanlah sesuatu yang tidak alamiah.
Ini adalah semua masalah cita rasa dan temperamen. Ruchinan vaichitriyat.
Ketika
bangsa Arya bertemu dengan penduduk asli yang menyembah berbagai macam
dewa-dewa, meraka merasa tidak terpanggil untuk menggantikannya seketika
itu dengan keyakinan mereka.
Pada akhirnya semua manusia mencari
Tuhan yang satu. Menurut Bagawad Gita Tuhan tidak akan menolak
keinginan pemuja-Nya semata-mata karena mereka tidak merasakan kekacauan
dan kebingungan.
Guru-guru besar dunia yang memiliki cukup
penghormatan terhadap sejarah tidak akan mencoba menyelamatkan dunia
dalam generasi mereka dengan memaksakan pertimbangan-pertimbangan mereka
yang maju terhadap mareka yang tidak mengerti atau menghargainya.
Para
Maharesi Hindu, sementara mempraktekan ideal yang tinggi, memahami
ketidak siapan rakyat untuk itu, dan karena itu melakukan pelayanan
dengan lemah lembut dari pada pemaksaan yang liar.
Mereka
mengakui dewa-dewa yang lebih rendah dan di puja oleh orang banyak dan
memberitahu mereka bahwa dewa-dewa itu semua berkedudukan lebih rendah
dari Brahman atau Tuhan Yang Tunggal: sementara beberapa menemukan
dewa-dewa di air, yang lain di surga, yang lain dalam benda-benda dunia,
orang bijaksana menemukan Tuhan yang benar, yang keagunganNya hadir di
mana-mana, di dalam Atman.
Sloka yang lain mengatakan: "Manusia
tindakan (man of action) menemukan Tuhan dalam api, manusia perasaan
(men of feeling) menemukan Tuhan dalam hati, manusia yang masih rendah
kemampuan berpikirnya menemukan Tuhan dalam patung, tapi manusia yang
kuat secara spiritual menemukan Tuhan di mana-mana."
Sistem agama
dan falsafah Hindu mengakui evolusi dan involusi dunia secara periodik
yang mempresentasikan detak jantung universal, yang selalu diam dan
selalu aktif.
Seluruh dunia merupakan pengejawantahan dari Tuhan.
Sayana mengamati bahwa segala sesuatu adalah wahana atau kendaraan dari
manifestasi Jiwa Yang Tertinggi (Tuhan).
Mahluk dibedakan dalam
beberapa tingkatan. "Di antara mahluk, yang bernafas yang tertinggi; di
antara ini, mereka yang telah mengembangkan pikirannya; di antara ini,
mereka yang telah mempergunakan pengetahuannya; sementara yang tertinggi
adalah mereka yang dikuasai oleh perasaan mengenai kesatuan dari semua
kehidupan dalam Tuhan. Jiwa yang satu mengungkapkan dirinya melalui
tingkatan yang berbeda."
Yang tak terbatas dalam diri manusia tidak dapat dipuaskan oleh bentuk dunia terbatas yang fana.
Kebebasan
adalah harta milik kita, bila kita lari dari apa yang sementara dan
terbatas dalam diri kita. Makin banyak hidup kita memanifestasikan yang
tak terbatas dalam diri kita, makin tinggi kita berada dalam tingkatan
hidup.
Manifestasi yang paling tinggi disebut Awatara atau
inkarnasi dari Tuhan. Ini bukanlah suatu yang tidak biasa, satu mukjijat
Tuhan, tetapi hanya manifestasi yang lebih tinggi dari prinsip
tertinggi, berbeda dari yang umum yang lebih rendah dalam derajat saja.
Bagawad
Gita mengatakan bahwa sekalipun Tuhan ada dan bergerak dalam segalanya,
Dia memanifestasikan dirinya dalam derajat khusus dalam hal-hal yang
indah.
Para Maharesi dan para Buddha, para Nabi dan Mesiah, merupakan pengungkapan terdalam dari jiwa universal.
Bagawad
Gita menjanjikan bahwa mereka akan muncul bilamana mereka diperlukan.
Bila kecenderungan meteralis yang merendahkan atau mendominasi
kehidupan, seorang Rama atau Krishna atau seorang Buddha akan datang
kedunia untuk memperbaiki harmoni kebenaran.
Dalam manusia yang
telah memutuskan kekuasaan indria, membuka hati yang penuh kasih, dan
memberikan kita inpirasi akan kasih, kebenaran dan keadilan, kita
memiliki konsentrasi yang kuat mengenai Tuhan. Mereka mengungkapkan
kepada kita jalan, kebenaran dan hidup. Mereka tentu saja melarang
penyembahan buta terhadap diri mereka, karena ini akan menurunkan
pengejawantahan dari Jiwa yang Agung.
Rama mengungkapkan dirinya tidak lebih dari anak seorang manusia.
Seorang
Hindu yang mengetahui sesuatu mengenai keyakinannya siap untuk
memberikan rasa hormat kepada setiap penolong kemanusiaan.
Dan percaya bahwa Tuhan berinkarnasi dalam seorang manusia (Awatara).
Manifestasi
suci bukanlah pelanggaran terhadap kepribadian manusia sebaliknya, ia
merupakan drajat kemungkinan tertinggi dari pengejawantahan-diri manusia
yang alamiah sebab hakikat sebenarnya dari manusia adalah suci.
Tujuan
dari hidup adalah pengungkapan secara perlahan dari yang abadi dalam
diri kita, dari eksistensi kemanusiaan kita. Kemajuan umum diatur oleh
karma atau hukum sebab akibat moral.
Agama Hindu tidak percaya
akan satu Tuhan yang dari kursi-pengadilannya menimbang tiap kasus
secara terpisah dan menetapkan balasannya.
Dia tidak melalukan keadilan dari luar, menambah atau mengurangi hukuman berdasarkan kehendakNya sediri.
Tuhan ada "dalam" manusia, dan demikian juga karma hukum adalah merupakan bagian organik dari kakekat manusia.
Setiap saat ada pada pengadilannya sendiri, dalam setiap usaha yang jujur akan memberikan dia kebaikan dalam upaya internalnya.
Karakter yang kita bangun akan berlanjut ke masa depan sampai kita menyadari kesatuan kita dengan Tuhan.
Anak-anak
Tuhan, yang dalam pandangannya satu tahun adalah seperti satu hari,
tidaklah merasa perlu kecil hati bila tujuan kesempurnaan itu tidak
tercapai dalam suatu kehidupan.
Kelahiran kembali diterima oleh semua penganut Hindu.
Dunia ini dipelihara oleh kesalahan-kesalahan kita.
Kekuatan-kekuatan yang menyatukan ciptaan adalah hidup kita yang terpatah-patah yang perlu diperbaharui.
Alam
semesta telah muncul dan lenyap berulang-kali tak terhitung di masa
lampau yang panjang, dan akan terus berlanjut dilebur dan dibentuk
kembali melalui keadilan yang tak dapat dibayangkan di masa yang akan
datang.
Agama Hindu (Bahasa Sansekerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म
"Kebenaran Abadi", dan Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran") adalah
sebuah agama yang berasal dari anak benua India.
Agama ini
merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan
kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul
antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia
yang masih eksis hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar
di dunia setalah Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1
milyar jiwa.
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak
benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini
pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih
tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini
digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang,
mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali,
selain sebagian kecil yang tersebar di pulau Jawa dan Lombok.
Etimologi
Dalam
Bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sansekerta).
Dalam Rig Veda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta
Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anakbenua India, yang
salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati
dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad:
Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya
kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu.
Keyakinan dalam Hindu
Agama
Hindu adalah agama yang monoteisme, yaitu Tuhan tunggal tidak ada
duanya, disebut Brahman atau Shang Hyang Widhi Wasa, juga dapat disebut
sebagai Dewata Nawa Sangga.
Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya,
namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai
dengan sifatnya yang maha kuasa.
Dalam keesaannya dan tidak berwujud dipanggil OMKARA.
OMKARA adalah sebutan Tuhan pertama sama dengan ALLAH, sebagai manifestasi Tuhan dalam ke Esaannya dan tidak berwujud.
Kemudian dalam penulisan menggunakan aksara suci Omkara yaitu dibaca OM.
Dalam prakteknya umat Hindu sebagai masyarakat social religius, menjalankannya dengan konsep Monoteisme dan Panteisme.
Menurut Prof Sarvelli Radhakrishnan, filsuf dan mantan presiden India, monotheisme hanya cocok bagi jiwa yang masih kanak-kanak.
Weda
tidak mengajarkan apartheid agama, pemisahan orang beriman dengan orang
kafir, apalagi memerintahkan pengikutnya membunuh atau menaklukan orang
kafir dan membayar pajak perlindungan kecuali si kafir masuknya.
Einstein, yang juga Yahudi, hanya menerima paham ketuhanan Spinoza.
Spinoza dianggap sebagai salah seorang filsuf Barat modern yang terbesar.
Filsafatnya tentang Tuhan hampir mirip dengan dengan pandangan Hindu, yang disebut Pantheisme (pan = segalanya; theis = Tuhan).
Ia
memahami Tuhan mengejawantah di dalam hukum-hukum alam, yang di dalam
Hindu disebut Rta yang mengatur alam dan karma yang mengatur perbuatan
manusia.
Mengenai ini ada ungkapan Einstein yang terkenal “Tuhan
tidak main dadu” Artinya Tuhan tidak sewenang-wenang, semaunya sendiri,
apalagi bila Tuhan sedetik ini tidak tahu apa yang dimauinya.
Apakah Einstein menganggap semua agama sama?
Ya,
dalam arti negative; Karena Einstein tidak beragama, semua agama,
tentunya agama yang ada di lingkungannya, yaitu agama-agama semitik,
yang menyebut dirinya agama langit, tidak berguna.
Mengenai Tuhan,
figur sentral atau protagonist di dalam kitab suci semua agama-agama
theistic, Einstein memilih Pantheisme dan menolak Monotheisme.
Arthur
Schoupenhauer (filsuf Jerman), David Hume (filsuf Inggris), Arnold J.
Toynbee (sejarahawan Inggris) untuk menyebut beberapa nama, menolak
monotheisme, karena Tuhan monotheisme mengajarkan keberanian dan
kekerasan.
Tuhan monotheisme ini, kata mereka telah mengalirkan darah
manusia jauh melebihi perang karena alasan lainnya. Masing-masing Tuhan
monotheisme ini, mengajarkan kebencian, kekerasan bahkan memerintahkan
perang kepada bangsa, atau masyarakat lain.
Monoteisme
Dalam
agama Hindu umumnya (termasuk Agama Hindu Dharma di Indonesia), konsep
yang dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat
Advaita Vedanta yang berarti “tak ada duanya” (a + dvaita) dipanggil
OMKARA. Selayaknya konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya,
Advaita Vedānta menganggap bahwa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan
di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan
Brahman.
Panteisme
Dalam salah satu Kitab Hindu yakni Upanishad, konsep yang ditekankan adalah Panteisme.
Konsep
tersebut menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun
tempat tinggal tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap
ciptaannya, dan terdapat dalam setiap benda apapun, ibarat garam pada
air laut.
Dalam agama Hindu, konsep panteisme disebut dengan istilah
“Wyapi Wyapaka”. Kitab Upanishad dari Agama Hindu mengatakan bahwa Tuhan
memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, beliau tidak berada di
surga ataupun di dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya.
Tiga Kerangka Suci Umat Hindu yaitu :
1. Filsafat/Tattwa (Inti)
2, Ethika/Susila (Unit)
3. Rituil/Upacara/Persembahan (Reaksi)
Ketiga bagian tersebut di atas menurut Agama Hindu dapat dikembangkan sebagai berikut:
1. Filsafat/Tattwa (Inti) dijabarkan melalui :
Panca Sarada
• Brahman = Percaya dengan adanya Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan
• Atma = Percaya dengan adanya Roh
• Karman = Percaya adanya Hukum Karma Phala
• Samsara=Percaya bahwa manusia lahir berulang-ulang
• Moksa=Percaya dengan adanya kebebasan abadi
2. Ethika/Susila (Unit) sesuai dengan ajaran Trikaya Parisudha.
Trikaya Parisudha:
• Manacika = Pikiran Suci
• Wakcika = Kata-kata benar
• Kayika=Perbuatan yang baik dan terpuji
3. Rituil/Upacara/Persembahan (Reaksi) dilaksanakan melalui korban suci Panca Yadnya dan Panca Maha Yadnya.
Panca Yadnya:
• Dewa Yadnya = Persembahan kepada Tuhan.
• Pitra Yadnya = Persembahan kepada para Leluhur
• Rsi Yadnya= Persembahan kepada pra Rsi dengan mengalkan ilmu pengetahuan yang diberikannya.
• Manusa Yadnya = Persembahan dilakukan kepada Roh manusia semenjak embrio sampai kematiannya.
• Bhuta Yadnya = Korban sui terhadap makhluk diluar rendahan
Panca Maha Yadnya:
1. Drewiya Yadnya = Korban suci yang dilakukan dengan menggunakan banten sajen, harta benda dan material iannya.
2.
Tapa Yadnya = Korban suci dengan jalan tapa, yaitu dengan jalan tahan
menderita, meneguhkan iman, menghadapi segala godaan hidup.
3.
Swadyaya Yadnya = Korban suci dan kebajikan yang diamalkan dengan
menggunakan diri pribadi sebagai alat atau dana pengorbanan.
4. Yoga
Yadnya = Korban suci melalui pemujaan kepada Ida Sang Hayang Widhi,
dengan jalan Yoga, yaitu mengatukan pikiran guna dapat menunggal Atman
dengan Paramatman.
5. Jnana Yadnya = Korban suci berupa persembahan
dan pemujaan untuk Ida Sang Hyang Widhi dengan mengamalkan Weda / Ilmu
Pengetahuan suci (Jnana).
Konsep ketuhanan
Dalam keyakinan
umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga
tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam
semesta. Brahman berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta.
Brahman merupakan asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia.
Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk kepada Brahman tanpa
kecuali.
Dalam konsep tersebut, posisi para Dewa disetarakan
dengan malaikat dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri,
melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai perantara Tuhan kepada
umatnya.
Filsafat Advaita Vedānta menganggap tidak ada yang
setara dengan Brahman, Sang pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat
Hindu, Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang
bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya yang
maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan kemudian diwujudkan ke dalam
beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahmā, Çiwa,
Lakshmi, Parwati, Saraswati, dan lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma
(khususnya di Bali), konsep Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu
bentuk monoteisme asli orang Bali.
FILSAFAT HINDU
Dalam
Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca
Sradha. Panca Sradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima
keyakinan tersebut, yakni:
1. Widhi Tattwa – percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
2. Atma Tattwa – percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
3. Karmaphala – percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan.
4. Punarbhawa – percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
5. Moksha – percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia
Widhi Tattwa
Widhi
Tattwa merupakan konsep kepercayaan terdapat Tuhan yang Maha Esa dalam
pandangan Hinduisme. Agama Hindu yang berlandaskan Dharma menekankan
ajarannya kepada umatnya agar meyakini dan mengakui keberadaan Tuhan
yang Maha Esa. Dalam filsafat Advaita Vedānta dan dalam kitab Veda,
Tuhan diyakini hanya satu namun orang bijaksana menyebutnya dengan
berbagai nama. Dalam agama Hindu, Tuhan disebut Brahman. Filsafat
tersebut juga enggan untuk mengakui bahwa Dewa-Dewi merupakan Tuhan
tersendiri atau makhluk yang menyaingi derajat Tuhan.
Ātmā Tattwa
Atma
tattwa merupakan kepercayaan bahwa terdapat jiwa dalam setiap makhluk
hidup. Dalam ajaran Hinduisme, jiwa yang terdapat dalam makhluk hidup
merupakan percikan yang berasal dari Tuhan dan disebut “Jiwatma”.
Jiwatma bersifat abadi, namun karena terpengaruh oleh badan manusia yang
bersifat “Maya”, maka Jiwatma tidak mengetahui asalnya yang
sesungguhnya. Keadaan itu disebut “Awidya”. Hal tersebut mengakibatkan
Jiwatma mengalami proses reinkarnasi berulang-ulang. Namun proses
reinkarnasi tersebut dapat diakhiri apabila Jiwatma mencapai moksha.
Karmaphala
Agama
Hindu mengenal “hukum sebab-akibat” yang disebut Karmaphala
(karma=perbuatan; phala=buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan
dasar. Dalam ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti
membuahkan hasil (baik atau buruk). Ajaran Karmaphala sangat erat
kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran
Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena
hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia
menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani
kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia
menentukan nasib baik/buruk yang akan ia jalani sementara Tuhan yang
menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah
reinkarnasi).
Punarbhawa
Punarbhawa merupakan keyakinan bahwa
manusia mengalami reinkarnasi. Dalam ajaran Punarbhawa, reinkarnasi
terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya
yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil
perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk
menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses
reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya
(baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati. Proses reinkarnasi
diakhiri apabila seseorang mencapai kesadaran tertinggi (moksha).
Moksha
Dalam
keyakinan umat Hindu, Moksha merupakan suatu keadaan di mana jiwa
merasa sangat tenang dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya karena
tidak terikat lagi oleh berbagai macam nafsu maupun benda material. Pada
saat mencapai keadaan Moksha, jiwa terlepas dari siklus reinkarnasi
sehingga jiwa tidak bisa lagi menikmati suka-duka di dunia. Oleh karena
iu, Moksha menjadi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh umat Hindu.
Empat macam Moksha / kebebasan:
1. Samipya Moksa = Kebebasan yagn dicapai semasih hidup oleh para Resi sehingga mampu menerima wahyu dari Tuhan.
2. Sarupya/Sadarmmya = Kebebasan yang diperoleh semasih hidup seperti Awatara Sri Kresna, Budha Gautama.
3.
Salokya / karma Mukti = Kebebasan yang dicapai oleh Atman itu sendiri
telah berada dalam posisi sama dengan Tuhan tetapi belum dapat bersatu
dengan Tuhan.
4. Sayujya / Purna Mukti = Kebebasan yang tertinggi dan sempurna sehingga dapat menyatu dengan Tuhan.
Ajaran
agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci
keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad,
yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut
dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci
tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap, yang diikuti
dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam
mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting
dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama dan Purāna serta epos: Rāmāyaṇa
dan Mahābhārata. Bhagavad Gītā adalah ajaran yang dimuat dalam
Mahābhārata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering
disebut sebagai ringkasan dari Weda.
Hindu meliputi banyak aspek
keagamaan, tradisi, tuntunan hidup, serta aliran/sektarian. Umat Hindu
meyakini akan kekuasaan Yang Maha Esa, yang disebut dengan Brahman dan
memuja Brahma, Wisnu atau Siwa sebagai perwujudan Brahman dalam
menjalankan fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam
semesta.
Secara umum, pustaka suci Hindu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kitab Sruti dan kelompok kitab Smerti.
*
Sruti berarti “yang didengar” atau wahyu. Yang tergolong kitab Sruti
adalah kitab-kitab yang ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, seperti
misalnya Veda, Upanishad, dan Bhagavad Gītā. Dalam perkembangannya, Veda
dan Upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, seperti
misalnya Rigveda dan Isa Upanishad. Kitab Veda berjumlah empat bagian
sedangkan kitab Upanishad berjumlah 108.
* Smerti berarti “yang
diingat” atau tradisi. Yang tergolong kitab Smerti adalah kitab-kitab
yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan
pemikiran dan budaya manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu
astronomi, ekonomi, politik, kepemimpinan, tata negara, hukum,
sosiologi, dan sebagainya. Kitab-kitab smerti merupakan penjabaran moral
yang terdapat dalam kitab Sruti.
Veda
Veda (Sansekerta:
Vid, "ilmu pengetahuan") adalah sastra suci agama Hindu yang juga
dikenal dengan Sanatana Dharma, yang merupakan kumpulan sastra-sastra
kuno dari India kuno, yang jumlahnya sangat banyak dan luas. Weda
termasuk dalam śruti (yang didengar), karena merupakan wahyu dari Tuhan
Yang Maha Kuasa. Weda diyakini sebagai sastra tertua dalam peradaban
manusia, yang masih ada hingga saat ini. Pada masa awal turunnya wahyu,
Weda diturunkan/diajarkan dengan sistem lisan — pengajaran dari mulut ke
mulut, yang mana pada masa itu tulisan belum ditemukan — dari Guru ke
Siswa. Setelah tulisan ditemukan, para Rsi menuangkan ajaran-ajaran Weda
ke dalam bentuk tulisan. Weda bersifat apaurusheya, karena berasal dari
wahyu, tidak dikarang oleh manusia, dan abadi. Maharsi Vyasa, menyusun
kembali Weda dan membagi Weda menjadi empat bagian utama yaitu: Rgveda,
Yajurveda, Samaveda dan Atharvaveda, pada masa awal Kali Yuga.
Veda
merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala ajaran agama Hindu. Veda
merupakan kitab suci tertua di dunia karena umurnya setua umur agama
Hindu. Veda berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu dari kata “vid” (Wid)
yang berarti tahu. Kata Veda berarti “pengetahuan”. Para nabi yang
menerima wahyu Veda jumlahnya sangat banyak, namun yang terkenal hanya
tujuh saja yang disebut Sapta Maharsi atau Sapta Rsi. Ketujuh nabi
tersebut yakni:
1. Rsi Grtsamada
2. Rsi Wasistha
3. Rsi Atri
4. Rsi Wiswamitra
5. Rsi Wamadewa
6. Rsi Bharadwaja
7. Rsi Kanwa
Ayat-ayat
yang diturunkan oleh Tuhan kepada nabi-nabi tersebut tidak terjadi pada
suatu zaman yang sama dan tidak diturunkan di wilayah yang sama. Nabi
yang menerima wahyu juga tidak hidup pada masa yang sama dan tidak
berada di wilayah yang sama dengan nabi lainnya, sehingga ribuan
ayat-ayat tersebut tersebar di seluruh wilayah India dari zaman ke
zaman, tidak pada suatu zaman saja. Agar ayat-ayat tersebut dapat
dipelajari oleh generasi seterusnya, maka disusunlah ayat-ayat tersebut
secara sistematis ke dalam sebuah buku. Usaha penyusunan ayat-ayat
tersebut dilakukan oleh Rsi Vyāsa atau Krishna Dwaipayana Wyasa dengan
dibantu oleh empat muridnya, yaitu: Bagawan Pulaha, Bagawan Jaimini,
Bagawan Wesampayana, dan Bagawan Sumanta.
Setelah penyusunan
dilakukan, ayat-ayat tersebut dikumpulkan ke dalam sebuah kitab yang
kemudian disebut Veda. Sesuai dengan isinya, Veda terbagi menjadi empat,
yaitu:
1. Rigveda Samhita
2. Ayurveda Samhita
3. Samaveda Samhita
4. Atharvaveda Samhita
Keempat
kitab tersebut disebut “Catur Veda Samhita”. Selain keempat Veda
tersebut, Bhagavad Gītā yang merupakan intisari ajaran Veda disebut
sebagai Veda yang kelima.
Bhagavad Gītā
Bhagavad Gītā
merupakan suatu bagian dari kitab Bhismaparwa, yakni kitab keenam dari
seri Astadasaparwa kitab Mahābhārata, yang berisi percakapan antara Sri
Kresna dengan Arjuna menjelang Bharatayuddha terjadi. Diceritakan bahwa
Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan Dinasti Kuru jika
Bharatayuddha terjadi. Arjuna juga merasa lemah dan tidak tega untuk
membunuh saudara dan kerabatnya sendiri di medan perang. Dilanda oleh
pergolakan batin antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna
bertanya kepada Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama.
Kresna
yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna menjelaskan dengan panjang
lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang ksatria agar dapat
membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian
dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang sangat terkenal yang
bernama Bhagavad Gītā.
Bhagavad Gītā terdiri dari delapan belas bab
dan berisi ± 650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang
diajukan oleh Arjuna kepada Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan
wejangan suci sekaligus pokok-pokok ajaran Veda.
Purana
Purana
adalah bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda,
dan kisah-kisah zaman dulu. Kata Purana berarti sejarah kuno atau cerita
kuno. Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai pada tahun 500
SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut “Mahapurana”.
Delapan belas kitab tersebut yakni:
1. Matsyapurana
2. Wisnupurana
3. Bhagawatapurana
4. Warahapurana
5. Wamanapurana
6. Markandeyapurana
7. Wayupurana
8. Agnipurana
9. Naradapurana
10. Garudapurana
11. Linggapurana
12. Padmapurana
13. Skandapurana
14. Bhawisyapurana
15. Brahmapurana
16. Brahmandapurana
17. Brahmawaiwartapurana
18. Kurmapurana
ITIHĀSA
Itihāsa
adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan
kisah-kisah epik/kepahlawanan para Raja dan ksatria Hindu di masa lampau
dan dibumbui oleh filsafat agama, mitologi, dan makhluk supernatural.
Kata Itihāsa terdiri dari tiga suku kata, yaitu: iti-ha-sa, yang berarti
“kejadian itu sesungguhnya begitu nyata”. Kitab Itihāsa disusun oleh
para Rsi dan pujangga India masa lampau, seperti misalnya Rsi Walmiki
dan Rsi Vyāsa. Itihāsa yang terkenal ada dua, yaitu Ramayana dan
Mahābhārata.
Kitab lainnya
Selain kitab Veda, Bhagavad Gītā,
Upanishad, Purana dan Itihāsa, agama Hindu mengenal berbagai kitab
lainnya seperti misalnya: Tantra, Jyotisha, Darsana, Salwa Sutra, Niti
Sastra, Kalpa, Chanda, dan lain-lain. Kebanyakan kitab tersebut
tergolong ke dalam kitab Smerti karena memuat ajaran astroniomi, ilmu
hukum, ilmu tata negara, ilmu sosial, ilmu kepemimpinan, ilmu bangunan
dan pertukangan, dan lain-lain.
Kitab Tantra memuat tentang cara
pemujaan masing-masing sekte dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga
mengatur tentang pembangunan pura dan peletakkan citra (arca). Kitab
Niti Sastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang
pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran
sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman
tentang benda langit dan peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk
meramal dan memperkirakan datangnya suatu musim